WALISONGO
Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di
tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting
pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur,
Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha
dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka
adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak
tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam
mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Arti
Walisongo
Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo.
Pertama adalah wali yang sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan,
atau sanga dalam bahasa Jawa.
Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari
kata tsana yang dalam bahasa Arab
berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata sana berasal dari bahasa Jawa, yang
berarti tempat.
Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo
adalah sebuah majelis dakwah yang
pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana
Malik Ibrahim) pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). Para
Walisongo adalah pembaharu masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan
dalam beragam bentuk manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan,
bercocok-tanam, perniagaan, kebudayaan, kesenian,
kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.
Nama para Walisongo
Dari nama para Walisongo tersebut, pada
umumnya terdapat sembilan nama yang dikenal sebagai anggota Walisongo yang
paling terkenal, yaitu:
|
|
|
Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana
Malik Ibrahim
adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan
Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik
Ibrahim Nasab Maulana Malik Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin
Ba'alawi Al-Husaini yang kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam
Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam
Catatan itu tertulis: As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat
Zainal Alam bin As-Sayyid Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin
As-Sayyid Abdullah bin As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil
Faqih bin As-Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin
As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid
Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam Muhammad
bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam Muhammad
Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin Sayyidah
Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad Rasulullah.Ia
diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi,
mengikuti pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy.[2] Dalam cerita rakyat, ada
yang memanggilnya Kakek Bantal.
Isteri Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama: 1. Siti
Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti Azmatkhan 1),
memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah Sarah 2. Siti Maryam
binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim, Abdul Ghafur,
dan Ahmad 3. Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki
2 anak yaitu: Abbas dan Yusuf. Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik
Ibrahim dinikahkan dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden
Santri] dan melahirkan dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman
Haji (Sunan Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera
Sayyid Ja’far Shadiq [Sunan Kudus].
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali
pertama yang mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok
tanam dan banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa
yang tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun
pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim
wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang
bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab
lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar
bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah
bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid
Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid
Muhammad bin Sayyid Alwi bin Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin
Sayyid Isa bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq
bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel umumnya
dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di
Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam
tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga dengan Dewi
Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati
alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera: Sunan Bonang,Siti
Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan Siti Hafsah.
Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning, berputera:
Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan Lamongan,Raden Zainal Abidin
(Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan
Ampel teletak di dekat Masjid Ampel, Surabaya.
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan
keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai
Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak
berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama
Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo
Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang,
yang sering dihubungkan dengan namanya. Universitas
Leiden menyimpan sebuah
karya sastra bahasa Jawa bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang.
Menurut G.W.J. Drewes, itu bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja
mengandung ajarannya. Sunan Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia
dimakamkan di daerah Tuban, Jawa Timur.
Sunan Drajat
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan
keturunan ke-23 dari Nabi
Muhammad. saudara dari
sunan derajat adalah masih munat. masih munat nantinya terkenal dengan nama
sunan derajat.sunan derajat terkenal juga dengan kegiatan sosialnya. dialah
wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit. Ia adalah putra
Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja.
Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia menekankan
kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat, sebagai
pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara mandiri
sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan
sebagai ciptaannya. Gamelan Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium
Daerah Sunan Drajat, Lamongan. Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
Sunan Kudus
Sunan Kudus adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil
atau Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti
Sunan Ampel. Sunan
Kudus adalah keturunan
ke-24 dari Nabi
Muhammad. Sunan Kudus bin
Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik
Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam
bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin
Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali
Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam
pemerintahan Kesultanan
Demak, yaitu sebagai
panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan
negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di
antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu
peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya
bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan wafat pada tahun
1550.
Sunan Giri
Sunan
Giri adalah putra Maulana Ishaq. Sunan Giri adalah keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, merupakan murid dari Sunan Ampel dan saudara
seperguruan dari Sunan Bonang. Ia mendirikan pemerintahan mandiri di Giri Kedaton, Gresik;
yang selanjutnya berperan sebagai pusat dakwah Islam di wilayah Jawa dan
Indonesia timur, bahkan sampai ke kepulauan Maluku. Salah satu keturunannya
yang terkenal ialah Sunan Giri Prapen, yang menyebarkan agama Islam ke wilayah
Lombok dan Bima.
Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga adalah putra adipati Tuban yang bernama
Tumenggung Wilatikta atau Raden Sahur atau Sayyid Ahmad bin Mansur (Syekh
Subakir). Ia adalah murid Sunan Bonang. Sunan Kalijaga menggunakan kesenian dan
kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah, antara lain kesenian wayang kulit dan tembang suluk.
Tembang suluk Ilir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul umumnya dianggap
sebagai hasil karyanya. Dalam satu riwayat, Sunan Kalijaga disebutkan menikah
dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq, menikahi juga Syarifah Zainab binti Syekh
Siti Jenar dan Ratu Kano Kediri binti Raja Kediri.
Sunan Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria atau Raden Umar Said adalah putra Sunan Kalijaga. Ia
adalah putra dari Sunan Kalijaga dari isterinya yang bernama Dewi Sarah binti
Maulana Ishaq. Sunan Muria menikah dengan Dewi Sujinah, putri Sunan Ngudung.
Jadi Sunan Muria adalah adik ipar dari Sunan Kudus.
Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah adalah putra Syarif
Abdullah Umdatuddin putra Ali Nurul Alam putra Syekh Husain Jamaluddin Akbar.
Dari pihak ibu, ia masih keturunan keraton Pajajaran melalui Nyai Rara Santang, yaitu anak dari Sri
Baduga Maharaja.
Sunan Gunung Jati mengembangkan Cirebon sebagai pusat dakwah dan
pemerintahannya, yang sesudahnya kemudian menjadi Kesultanan
Cirebon. Anaknya yang
bernama Maulana
Hasanuddin, juga berhasil
mengembangkan kekuasaan dan menyebarkan agama Islam di Banten, sehingga
kemudian menjadi cikal-bakal berdirinya Kesultanan Banten.
Tokoh pendahulu Walisongo
Syekh Jumadil Qubro
Syekh Jumadil
Qubro adalah Maulana
Ahmad Jumadil Kubra / Husain Jamaluddin al akbar bin Ahmad Jalaluddin bin
Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib
Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin
Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin
Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah
Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah Syekh
Jumadil Qubro
adalah putra Husain Jamaluddin dari isterinya yang bernama Puteri Selindung
Bulan (Putri Saadong II/ Putri Kelantan Tua). Tokoh ini sering disebutkan dalam
berbagai babad dan cerita rakyat sebagai salah seorang pelopor
penyebaran Islam di tanah Jawa.
Makamnya terdapat di beberapa tempat yaitu di Semarang,
Trowulan, atau di desa Turgo (dekat Pelawangan), Yogyakarta. Belum diketahui
yang mana yang betul-betul merupakan kuburnya.[3] [4]
Asal usul Walisongo
Teori keturunan Hadramaut
Walaupun masih ada pendapat yang menyebut Walisongo
adalah keturunan Samarkand (Asia Tengah), Champa atau tempat lainnya, namun
tampaknya tempat-tampat tersebut lebih merupakan jalur penyebaran para mubaligh
daripada merupakan asal-muasal mereka yang sebagian besar adalah kaum Sayyid atau
Syarif. Beberapa argumentasi yang diberikan oleh Muhammad Al
Baqir, dalam bukunya Thariqah Menuju Kebahagiaan, mendukung bahwa
Walisongo adalah keturunan Hadramaut (Yaman):
- L.W.C van den Berg, Islamolog dan ahli hukum Belanda yang mengadakan riset pada 1884-1886, dalam bukunya Le Hadhramout et les colonies arabes dans l'archipel Indien (1886)[5] mengatakan:
”Adapun
hasil nyata dalam penyiaran agama Islam (ke Indonesia) adalah dari orang-orang Sayyid
Syarif. Dengan perantaraan mereka agama Islam tersiar di antara raja-raja
Hindu di Jawa dan lainnya. Selain dari mereka ini, walaupun ada juga suku-suku
lain Hadramaut (yang bukan golongan Sayyid Syarif), tetapi mereka ini tidak
meninggalkan pengaruh sebesar itu. Hal ini disebabkan mereka (kaum Sayyid
Syarif) adalah keturunan dari tokoh pembawa Islam (Nabi Muhammad SAW).”
- van den Berg juga menulis dalam buku yang sama (hal 192-204):
”Pada
abad ke-15, di Jawa sudah terdapat penduduk bangsa Arab atau keturunannya,
yaitu sesudah masa kerajaan Majapahit yang kuat itu. Orang-orang Arab bercampul-gaul
dengan penduduk, dan sebagian mereka mempuyai jabatan-jabatan tinggi. Mereka
terikat dengan pergaulan dan kekeluargaan tingkat atasan. Rupanya
pembesar-pembesar Hindu di kepulauan Hindia telah terpengaruh oleh sifat-sifat
keahlian Arab, oleh karena sebagian besar mereka berketurunan pendiri Islam
(Nabi Muhammad SAW). Orang-orang Arab Hadramawt (Hadramaut) membawa
kepada orang-orang Hindu pikiran baru yang diteruskan oleh peranakan-peranakan
Arab, mengikuti jejak nenek moyangnya."
Pernyataan
van den Berg spesifik menyebut abad ke-15, yang merupakan abad spesifik
kedatangan atau kelahiran sebagian besar Walisongo di pulau Jawa. Abad ke-15
ini jauh lebih awal dari abad ke-18 yang merupakan saat kedatangan gelombang
berikutnya, yaitu kaum Hadramaut
yang bermarga Assegaf, Al Habsyi, Al Hadad, Alaydrus, Alatas, Al Jufri, Syihab,
Syahab dan banyak marga Hadramaut lainnya.
- Hingga saat ini umat Islam di Hadramaut sebagian besar bermadzhab Syafi’i, sama seperti mayoritas di Srilangka, pesisir India Barat (Gujarat dan Malabar), Malaysia dan Indonesia. Bandingkan dengan umat Islam di Uzbekistan dan seluruh Asia Tengah, Pakistan dan India pedalaman (non-pesisir) yang sebagian besar bermadzhab Hanafi.
- Kesamaan dalam pengamalan madzhab Syafi'i bercorak tasawuf dan mengutamakan Ahlul Bait; seperti mengadakan Maulid, membaca Diba & Barzanji, beragam Shalawat Nabi, doa Nur Nubuwwah dan banyak amalan lainnya hanya terdapat di Hadramaut, Mesir, Gujarat, Malabar, Srilangka, Sulu & Mindanao, Malaysia dan Indonesia. Kitab fiqh Syafi’i Fathul Muin yang populer di Indonesia dikarang oleh Zainuddin Al Malabary dari Malabar, isinya memasukkan pendapat-pendapat baik kaum Fuqaha maupun kaum Sufi. Hal tersebut mengindikasikan kesamaan sumber yaitu Hadramaut, karena Hadramaut adalah sumber pertama dalam sejarah Islam yang menggabungkan fiqh Syafi'i dengan pengamalan tasawuf dan pengutamaan Ahlul Bait.
- Di abad ke-15, raja-raja Jawa yang berkerabat dengan Walisongo seperti Raden Patah dan Pati Unus sama-sama menggunakan gelar Alam Akbar. Gelar tersebut juga merupakan gelar yang sering dikenakan oleh keluarga besar Jamaluddin Akbar di Gujarat pada abad ke-14, yaitu cucu keluarga besar Azhamat Khan (atau Abdullah Khan) bin Abdul Malik bin Alwi, seorang anak dari Muhammad Shahib Mirbath ulama besar Hadramaut abad ke-13. Keluarga besar ini terkenal sebagai mubaligh musafir yang berdakwah jauh hingga pelosok Asia Tenggara, dan mempunyai putra-putra dan cucu-cucu yang banyak menggunakan nama Akbar, seperti Zainal Akbar, Ibrahim Akbar, Ali Akbar, Nuralam Akbar dan banyak lainnya.
Teori keturunan Cina
Sejarawan Slamet Muljana mengundang kontroversi dalam buku Runtuhnya
Kerajaan Hindu Jawa (1968), dengan menyatakan bahwa Walisongo adalah
keturunan Tionghoa Indonesia.[6] Pendapat tersebut
mengundang reaksi keras masyarakat yang berpendapat bahwa Walisongo adalah
keturunan Arab-Indonesia. Pemerintah Orde Baru sempat melarang terbitnya buku tersebut.[rujukan?]
Referensi-referensi yang menyatakan dugaan bahwa
Walisongo berasal dari atau keturunan Tionghoa sampai saat ini masih merupakan
hal yang kontroversial. Referensi yang dimaksud hanya dapat diuji melalui
sumber akademik yang berasal dari Slamet Muljana, yang merujuk kepada tulisan
Mangaraja Onggang Parlindungan, yang kemudian merujuk kepada seseorang yang
bernama Resident Poortman. Namun, Resident Poortman hingga sekarang belum bisa diketahui identitasnya serta
kredibilitasnya sebagai sejarawan, misalnya bila dibandingkan dengan Snouck Hurgronje dan L.W.C. van den Berg.
Sejarawan Belanda masa kini yang banyak mengkaji sejarah Islam di Indonesia
yaitu Martin
van Bruinessen,
bahkan tak pernah sekalipun menyebut nama Poortman dalam buku-bukunya yang
diakui sangat detail dan banyak dijadikan referensi.
Salah satu ulasan atas tulisan H.J. de Graaf, Th.G.Th.
Pigeaud, M.C. Ricklefs berjudul Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th
Centuries adalah yang ditulis oleh Russell Jones. Di sana, ia meragukan
pula tentang keberadaan seorang Poortman. Bila orang itu ada dan bukan bernama lain, seharusnya
dapat dengan mudah dibuktikan mengingat ceritanya yang cukup lengkap dalam
tulisan Parlindungan [7].
Sumber tertulis tentang Walisongo
- Terdapat beberapa sumber tertulis masyarakat Jawa tentang Walisongo, antara lain Serat Walisanga karya Ranggawarsita pada abad ke-19, Kitab Walisongo karya Sunan Dalem (Sunan Giri II) yang merupakan anak dari Sunan Giri, dan juga diceritakan cukup banyak dalam Babad Tanah Jawi.
- Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan diantaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanya Ketrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
- Dalam penulisan sejarah para keturunan Bani Alawi seperti al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran, 'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi, dan Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur; juga terdapat pembahasan mengenai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Bonang dan Sunan Gresik.
Referensi
1.
^ Dahlan, KH. Mohammad. Haul Sunan Ampel Ke-555, Penerbit
Yayasan Makam Sunan Ampel, hlm 1-2, Surabaya, 1979.
2.
^ Meinsma, J.J., 1903. Serat Babad Tanah Jawi, Wiwit Saking Nabi Adam
Dumugi ing Tahun 1647. S'Gravenhage.
3.
^ Istilah maqam, selain berarti kubur juga
dapat berarti tempat menetap atau tempat yang pernah dikunjungi seorang tokoh;
contohnya seperti makam Nabi Ibrahim di Masjidil Haram.
4.
^ Lihat pula: Pangeran
Sabrang Lor.
5.
^ van den Berg, Lodewijk Willem
Christiaan, 1886. ''Le Hadhramout et
les colonies arabes dans l'archipel Indien. Impr. du gouvernement,
Batavia.
6.
^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya
negara-negara Islam di Nusantara. LkiS. hlm. xxvi + 302 hlm. ISBN 9799798451163.
7.
^ Russell Jones, review on Chinese Muslims in Java in the 15th and 16th Centuries written by
H. J. de Graaf; Th. G. Th. Pigeaud; M. C. Ricklefs, Bulletin of the School of
Oriental and African Studies, University of London, Vol. 50, No. 2. (1987),
hlm. 423-424.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar