Asimetri Informasi
Asimetri
informasi merupakan suatu keadaan dimana manajer memiliki akses informasi atas
prospek perusahaan yang tidak dimiliki oleh pihak luar perusahaan. Agency
Theory mengimplikasikan adanya asimetri informasi antara manajer (agen) dengan
pemilik (prinsipal).
Laporan keuangan merupakan sarana
pengkomunikasian informasi keuangan kepada pihak-pihak di luar korporasi.
Laporan keuangan memiliki kelemahan tertentu, sekalipun pembuatan laporan
keuangan diatur oleh suatu standar yang telah ditetapkan, namun perlu disadari
bahwa laporan keuangan mengandung banyak asumsi, penilaian, serta pemilihan
metode perhitungan yang dapat digunakan oleh pembuatnya.
Adanya pemilihan kebijakan
akuntansi dalam standar yang dapat digunakan tersebut membuat manajemen
memiliki cukup keleluasaan untuk memanipulasi laporan keuangan tersebut.
pilihan metode akuntansi yang secara sengaja dipilih oleh manajemen untuk tujuan tertentu dikenal dengan sebutan
manajemen laba. Asimetri informasi dapat diantisipasi dengan melakukan
pengungkapan informasi yang lebih berkualitas.
Ada
dua tipe asimetri informasi : adverse selection dan moral hazard.
1. Adverse Selection
Adverse selection adalah jenis asimetri
informasi dalam mana satu pihak atau lebih yang melangsungkan atau akan
melangsungkan suatu transaksi usaha, atau transaksi usaha potensial memiliki
informasi lebih atas pihak-pihak lain. Adverse selection terjadi karena
beberapa orang seperti manajer perusahaan dan para pihak dalam (insiders)
lainnya lebih mengetahui kondisi kini dan prospek ke depan suatu perusahaan
daripada para investor luar.
2. Moral Hazard
Moral hazard adalah jenis asimetri
informasi dalam mana satu pihak yang melangsungkan atau akan melangsungkan
suatu transaksi usaha atau transaksi usaha potensial dapat mengamati
tindakan-tindakan mereka dalam penyelesaian transaksi-transaksi mereka
sedangkan pihak-pihak lainnya tidak. Moral hazard dapat terjadi karena adanya
pemisahan pemilikan dengan pengendalian yang merupakan karakteristik kebanyakan
perusahaan besar.
2. Teori
Bid-Ask Spread
Eisenhardt
(1989) dalam Syahroni (2005) menyatakan bahwa teori keagenan menggunakan tiga
asumsi manusia yaitu: 1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self
interest); 2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa
datang (bounded-rationality); dan 3) manusia selalu menghindari resiko (risk
averse). Masalah keagenan pula dihadapi oleh partisipan pasar modal. Salah satu
partisipan pasar modal adalah dealer dan market makers. Ketidakpastian yang
dihadapi oleh dealer disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan informasi
(information asymmetry). Untuk mengurangi ketidakpastian tersebut dealer
membutuhkan informasi, dan untuk mendapatkan informasi tersebut diperlukan
cost. Besarnya ketidakseimbangan informasi yang dihadapi oleh dealer tersebut
akan tercermin pada spread yang ditentukannya. Dealer selalu berusaha untuk
menentukan spread secara wajar dengan memperhatikan kejadian tertentu,, kondisi
atau informasi apa saja yang memberikan sinyal mengenai surat berharga yang
dimilikinya.
Bid-ask
spread merupakan selisih harga beli tertinggi dengan harga jual terendah saham
trader (Greinstein dan Sami, 1994 dalam Ardi, 2006).
Stoll (1989) dalam Syahroni (2005) menyatakan
bahwa bid-ask spread merupakan fungsi dari tiga komponen biaya yang berasal
dari:
1. Pemilikan saham (inventory holding)
2. Pemrosesan pesanan (order processing)
3. Asimetri informasi (information
asymmetry)
Biaya
pemilikan menunjukkan trade-off antara memiliki terlalu banyak saham dan
terlalu sedikit saham. Atas biaya pemilikan saham tersebut akan menimbulkan
opportunity cost. Biaya pemrosesan pesanan meliputi biaya administrasi,
pelaporan, proses komputer, telepon, dan lainnya. Sedangkan biaya asimetri
informasi lahir karena adanya dua pihak trader yang tidak sama dalam memiliki
dan mengakses fungsi. Pihak pertama adalah informed trader yang memiliki
informasi superior dan pihak lain yaitu uninformed trader yang tidak memiliki
informasi. Jika kedua belah pihak bertransaksi maka uninformed trader
menghadapi resiko rugi juga jika bertransaksi dengan informed trader, upaya
mengurangi resiko tersebut tercermin dalam bid-ask spread.
Literatur
mikrostruktur mengenai bid-ask spread menyatakan bahwa terdapat suatu komponen
spread yang turut memberikan kontribusi terhadap kerugian yang dialami dealer
ketika bertransaksi dengan pedagang terinformasi tersebut, yaitu:
o Kos pemrosesan pesanan (order processing
cost), terdiri dari biaya yang dibebankan oleh pedagang sekuritas (efek) atas
kesiapannya mempertemukan pesanan pembelian dan penjualan, dan kompensasi untuk
waktu yang diluangkan oleh pedagang sekuritas guna menyelesaikan transaksi.
o Kos penyimpanan persediaan (inventory
holding cost), yaitu kos yang ditanggung oleh pedagang sekuritas untuk membawa
persediaan saham agar dapat diperdagangkan sesuai dengan permintaan.
o Adverse selection component, menggambarkan
suatu upah (reward) yang diberikan kepada pedagang sekuritas untuk mengambil
suatu resiko ketika berhadapan dengan investor yang memiliki informasi
superior. Komponen ini terkait erat dengan arus informasi di pasar modal.
Berkaitan
dengan bid-ask spread, fokus perhatian akuntan adalah pada komponen adverse
selection karena berhubungan dengan penyediaan informasi ke pasar modal.
Pembahasan
lebih lanjut mengenai spreads dikemukakan oleh Cohen dkk. (1986) dan Hamilton
(1991) dalam Rahmawati dkk. (2006). Cohen dkk. (1986) menekankan bahwa riset
mengenai kos transaksi/kos kesegeraan (immediacy cost) harus membedakan antara
spread dealer dan spread pasar. ia menjelaskan bahwa spread dealer untuk suatu
saham merupakan perbedaan harga bid dan ask yang ditentukan oleh dealer secara
individual ketika hendak memperdagangkan saham tersebut, sedangkan spread pasar
untuk suatu saham merupakan perbedaan harga bid tertinggi dan ask terendah
diantara beberapa dealer yang sama-sama melakukan transaksi untuk saham
tersebut. Berdasarkan perbedaan tersebut, maka spread pasar dapat lebih kecil
dibandingkan dengan spread dealer.
Model
ini menyatakan bahwa pedagang sekuritas menetapkan bid-ask spread sedemikian
rupa sehingga keuntungan yang diharapkan dari pedagang tidak terinformasi dapat
menutupi kerugian dari pedagang terinformasi. Oleh karena itu, komponen adverse
selection dari spread ini akan lebih besar ketika pedagang sekurutas merasakan
bahwa kecenderungan untuk berdagang dengan pedagang terinformasi lebih besar,
atau ketika ia meyakini bahwa pedagang terinformasi memiliki informasi yang
lebih akurat. Dalam kondisi ini maka komponen adverse selection dari bid-ask
spread merefleksikan tingkat resiko asimetri informasi yang dirasakan oleh
pedagang sekuritas. Jadi, ketika pedagang sekuritas berdagang dengan pedagang
terinformasi maka biaya transaksi meningkat, dan adanya asimetri informasi ini
akan membawa pada bid-ask spread yang lebih besar.
3. Pengaruh
Asimetri Informasi Terhadap Manajemen Laba
Keberadaan
asimetri informasi dianggap sebagai penyebab manajemen laba. Richardson (1998)
dalam Rahmawati dkk. (2006) meneliti hubungan asimetri informasi dan manajemen
laba pada semua perusahaan yang terdaftar di NYSE pada periode akhir juni
selama 1988-1992. Hasil penelitiannya, bahwa terdapat hubungan yang sistematis
antara magnitut asimetri informasi dan tingkat manajemen laba. Fleksibilitas
manajemen untuk memanajemeni laba dapat dikurangi dengan menyediakan informasi
yang lebih berkualitas bagi pihak luar. Kualitas laporan keuangan akan
mencerminkan tingkat manajemen laba.
Bhattacharya
dan Spiegel (1991) dalam Richardson (1998) melakukan penelitian, bahwa asimetri
informasi menyebabkan ketidakinginan untuk berdagang dan meningkatkan cost of
capital sebagai “pelindung harga” investor itu sendiri melawan kerugian
potensial dari perdagangan dengan partisipan pasar yang diinformasikan dengan
baik. Lev (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) berpendapat bahwa ukuran
pengamatan atas likuiditas pasar dapat digunakan untuk mengidentifikasi tingkat
penerimaan asimetri informasi yang dihadapi partisipan dalam pasar modal.
Bid-ask spreads adalah salah satu pengukuran dari likuiditas pasar yang telah
digunakan secara luas dalam penelitian terdahulu sebagai pengukur asimetri
informasi antara manajemen dan pemegang saham perusahaan. Sebagai bukti dari
kemampuan bid-ask spreads dalam menangkap bukti seputar perusahaan ditunjukkan
oleh Healy, Palepu dan Sweeney (1995)
dan Welker (1995) dalam Rahmawati dkk. (2006) yaitu orang yang melaporkan bukti
dari hubungan yang negatif antara bid-ask spreads dan kebijakan pengungkapan
perusahaan.
Penelitian
Richardson (1998) dalam Rahmawati dkk. (2006) menunjukkan adanya hubungan
antara asimetri informasi dengan manajemen laba. Ketika asimetri informasi
tinggi, stakeholder tidak memiliki sumber daya yang cukup, insentif, atau akses
atas informasi yang relevan untuk memonitor tindakan manajer, dan hal ini
memberikan kesempatan atas praktek manajemen laba. Adanya asimetri informasi
akan mendorong manajer untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya terutama
jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja manajer.
Penelitian
yang dilakukan oleh Rahmawati dkk. (2006) juga menunjukkan bahwa variabel
independen asimetri informasi berpengaruh secara positif signifikan dan mampu
menjelaskan variabel dependen manajemen laba.
Berdasarkan
uraian di atas, maka hipotesis yang dapat dikembangkan adalah:
Ha1 : Asimetri informasi berpengaruh terhadap
praktik manajemen laba
4. Ukuran
Perusahaan
a.
Pengertian Ukuran Perusahaan
Ukuran
perusahaan secara umum dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar atau
kecilnya suatu objek. Menurut Poerwadarminta (1983;13) ukuran perusahaan
diartikan sebagai berikut:
“(1) alat-alat untuk mengukur (seperti
menjengkal dan sebagainya), (2) sesuatu yang dipakai untuk menentukan (menilai
dan sebagainya), (3) pendapatan mengukur panjangnya (lebarnya, luasnya,
besarnya) sesuatu”.
Jika
pengertian ini dihubungkan dengan perusahaan atau organisasi, maka ukuran
perusahaan (organization size) dapat diartikan sebagai suatu perbandingan besar
atau kecilnya usaha dari suatu perusahaan atau organisasi. Dengan demikian
ukuran perusahaan merupakan sesuatu yang dapat mengukur atau menentukan nilai
dari besar atau kecilnya perusahaan.
Pandangan
lain mengenai ukuran perusahaan (organization size) juga di utarakan oleh
Saffold (1988;132) seperti yang dikutip oleh Rasyid (1992;20) yaitu:
“The
view that the contribution of strong culture to performance is conditioned by
the nature of the industry, organisation size and the gain of the environment”
Saffold
(1998;132) menyatakan bahwa kultur perusahaan yang kuat dapat mempengaruhi
kinerja karyawan, dimana kultur perusahaan yang kuat tersebut akan terbentuk
dari berbagai faktor seperti jenis industri, ukuran perusahaan, dan lingkungan
yang mempengaruhi perusahaan itu sendiri. Berarti unsur ukuran perusahaan
menjadi salah satu faktor yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi kinerja
perusahaan.
Ukuran
perusahaan adalah suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecilnya
perusahaan menurut berbagai cara, antara lain: total aktiva, log size nilai
pasar saham, jumlah karyawan, dan lain-lain. Pada dasarnya ukuran perusahaan
hanya terbagi dalam tiga kategori, yaitu perusahaan besar (large firm),
perusahaan menengah (medium size), dan perusahaan kecil (small firm).
Berdasarkan
uraian tentang ukuran perusahaan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ukuran
perusahaan merupakan suatu indikator yang dapat menunjukkan suatu kondisi atau
karakteristik suatu organisasi atau perusahaan dimana terdapat beberapa parameter
yang dapat digunakan untuk menentukan ukuran (besar/kecilnya) suatu perusahaan,
seperti banyaknya jumlah karyawan yang digunakan dalam perusahaan untuk
melakukan aktivitas operasional perusahaan, jumlah aktiva yang dimiliki
perusahaan, total penjualan yang dicapai oleh perusahaan dalam suatu periode,
serta jumlah saham yang beredar.
b.
Konsep Dasar Aktiva
Menurut SAK No. 16 tahun 2004 yang
dimaksud dengan aktiva adalah sumber daya yang dikuasai oleh perusahaan sebagai
akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomis di masa depan
diharapkan akan diperoleh perusahaan.
Selanjutnya dijelaskan dalam
kerangka dasar penyusunan dan penyajian laporan keuangan paragraf 56 bahwa
banyak aktiva, modal, aktiva tetap memiliki bentuk fisik. Namun demikian bentuk
fisik tersebut tidak esensial untuk menentukan eksistensi aktiva; karena itu,
paten dan hak cipta, misalnya, merupakan aktiva kalau manfaat yang diperoleh
perusahaan di masa depan dan kalau masing-masing aktiva tersebut dikuasai
perusahaan.
Dalam
menentukan eksistensi aktiva, hak milik tidak esensial jadi misalnya property
yang diperoleh melalui sewa guna usaha adalah aktiva jika perusahaan
mengendalikan manfaat yang diharapkan dari property tersebut. Sedangkan menurut
Scanning (1992; 22):
“Aktiva
adalah jasa yang akan datang dalam bentuk uang atau jasa mendatang yang dapat
ditukarkan menjadi uang (kecuali jasa yang timbul dari kontrak yang belum
dijalankan kedua pihak secara sebanding) yang di dalamnya terkandung
kepentingan yang bermanfaat yang dijamin menurut hukum atau keadilan bagi orang
atau kelompok tertentu tersebut”.
Menurut
FASB Statement of Financial accounting
Concepts No. 3 (SFAC No. 3) sebagai berikut:
“Aktiva
adalah manfaat ekonomis mendatang yang mungkin akan diperoleh atau dikendalikan
oleh kesatuan ekonomi tertentu sebagai akibat transaksi atau peristiwa yang
lalu”.
Pengertian
aktiva yang dikemukakan oleh pakar ekonomi sangat beragam, namun pada dasarnya
pengertiannya sama yaitu aktiva merupakan sumber daya ekonomi suatu perusahaan
yang diukur berdasarkan prinsip akuntansi.
Pada
dasarnya aktiva dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian utama yaitu aktiva
lancar dan aktiva tidak lancar. Yang termasuk kelompok aktiva lancar adalah:
a. Kas atau uang tunai yang dapat digunakan
untuk membiayai operasi perusahaan.
b. Investasi jangka pendek (surat berharga
atau marketable securities) adalah investasi yang sifatnya sementara dengan
maksud untuk memanfaatkan uang kas yang untuk sementara belum dibutuhkan dalam
operasi
c. Piutang wesel, adalah tagihan perusahaan
kepada pihak lain yang dinyatakan dalam suatu wesel atau perjanjian yang diatur
dalam undang-undang, karena itu, wesel mempunyai kekuatan hukum dan lebih
terjamin perluasannya dan dapat diperjualbelikan atau didiskontokan.
d. Piutang dagang, adalah tagihan kepada
pihak lain (kepada kreditur atau langganan) sebagai akibat dari adanya
penjualan dagang secara kredit.
e. Persediaan, adalah semua barang yang
diperdagangkan yang sampai tanggal neraca masih di gudang atau belum laku di
jual.
f. Piutang penghasilan atau penghasilan
yang masih harus diterima adalah penghasilan yang sudah menjadi hak perusahaan
karena perusahaan telah memberikan jasa atau prestasinya tetapi belum diterima
pembayarannya.
g. Persekot atau biaya dibayar di muka,
adalah pengeluaran untuk memperoleh jasa atau prestasi dari pihak lain tetapi
pengeluaran itu belum jadi biaya atau jasa/prestasi pihak lain belum dinikmati
oleh perusahaan pada periode ini melainkan pada periode berikutnya.
Aktiva
tidak lancar adalah aktiva yang mempunyai umur kegunaan relatif permanen atau
jangka panjang (mempunyai umur ekonomis lebih dari satu tahun atau tidak habis
dalam satu kali perputaran operasi perusahaan). Yang termasuk aktiva tidak
lancar adalah:
a. Investasi jangka panjang, bagi
perusahaan yang cukup besar dalam arti mempunyai kekayaan atau modal yang cukup
atau sering melebihi dari yang dibutuhkan, maka perusahaan ini dapat menanamkan
modalnya dalam investasi jangka panjangnya di luar usaha pokoknya. Investasi
ini dapat berupa saham dari perusahaan, aktiva tetap yang tidak ada hubungannya
dengan perusahaan. Tujuannya adalah:
1. Untuk dapat mengadakan pengawasan
terhadap kebijaksanaan atau kegiatan perusahaan ini.
2. Untuk memperoleh pendapatan yang tetap
secara terus menerus
3. Untuk membina hubungan baik dengan
perusahaan lain
4. Dan lain-lain.
b. Aktiva tetap adalah kekayaan yang
dimiliki perusahaan yang fisiknya merupakan syarat lain untuk dapat
diklasifikasikan sebagai aktiva tetap selain aktiva itu dimiliki perusahaan,
juga harus digunakan dalam operasi yang bersifat permanen (aktiva tersebut
mempunyai umur kegunaan jangka panjang atau tidak akan habis dalam satu periode
kegiatan perusahaan.
c. Aktiva tetap tidak berwujud adalah
kekayaan perusahaan yang secara fisik tidak tampak, tetapi merupakan suatu hak
yang mempunyai nilai dan dimiliki oleh perusahaan untuk digunakan dalam
perusahaan.
Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen
Laba
Ukuran perusahaan (size) memiliki
korelasi dengan manajemen laba karena telah banyak digunakan sebagai variabel
dalam penelitian oleh peneliti di bidang akuntansi untuk dapat membuktikan
beberapa hipotesa yang mereka buat seperti penelitian yang dilakukan oleh
Defond (1993) dalam Veronica dan Bachtiar (2003) menemukan bahwa ukuran
perusahaan berkorelasi secara positif dengan manajemen laba. Perusahaan yang
besar memiliki insentif yang cukup besar untuk melakukan manajemen laba, karena
salah satu alasan utamanya adalah perusahaan besar harus mampu memenuhi
ekspektasi dari investor atau pemegang sahamnya. Selain itu semakin besar
perusahaan maka semakin banyak estimasi dan penilaian yang perlu diterapkan
untuk tiap jenis aktivitas perusahaan yang semakin banyak.
Penelitian
Ashari et al. (1994) menghasilkan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh
terhadap tindakan perataan laba. Jin dan
Machfoedz (1998) juga tidak berhasil membuktikan bahwa ukuran perusahaan
merupakan faktor pendorong dilakukannya praktek perataan laba. Hal ini konsisten
dengan hasil penelitian Suwito dan Herawati (2005) yang juga tidak menemukan
pengaruh ukuran perusahaan terhadap praktik perataan laba.
Valensiya
(2005) menyatakan bahwa perataan laba mempunyai hubungan yang kuat dan
signifikan dengan ukuran perusahaan. Karena perataan laba mempunyai kaitan yang
erat dengan manajemen laba, maka secara otomatis manajemen laba juga mempunyai
hubungan dengan ukuran perusahaan.
sumber: